MEMBANGUN SIKAP TOLERANSI BERAGAMA DALAM MASYARAKAT PLURAL
Toleransi dalam Masyarakat Plural
Rosalina Ginting
Kiki Aryaningrum
Abstrak: Pada era reformasi, kemajuan masyarakat cenderung menjadi
beban daripada modal bangsa Indonesia. Hal itu terbukti dengan
munculnya berbagai persoalan yang sumbernya berbau kemajemukan,
terutama dalam bidang agama. Dalam perspektif keagamaan semua
kelompok agama belum yakin bahwa nilai dasar setiap agama adalah
toleransi. Akibatnya yang muncul intoleransi dan konflik. Padahal agama
bisa menjadi energi positif membangun nilai toleransi guna mewujudkan
negara yang adil dan sejahtera. Seharusnya pada era reformasi ini, kita
menjunjung tinggi demokrasi dan toleransi. Demokrasi tanpa toleransi
akan melahirkan tatanan politik yang otoritaristik, sedangkan toleransi
tanpa demokrasi akan melahirkan pseudo- toleransi, yaitu toleransi yang
rentan konflik-konflik komunal. Oleh sebab itu toleransi dan demokrasi
harus saling terkait, baik dalam komunitas masyrakat politik maupun
masyarakat sipil. Disamping itu nilai dasar setiap agama adalah toleransi,
terutama agama islam tidak kurang dari 300 ayat menyebutkan mutiara
toleransi secara eksplisit. Sehubungan dengan kedua hal tersebut,
dipandang penting adanya toleransi dalam kehidupan masyarakat plural
yang demokratis. Permaslahannya sekarang bahwa toleransi dalam
kehidupan bersama semakin lemah, dan anti toleransi serta anti pluralism
semakin menguat. Untuk itu toleransi perlu dikembangkan dalam
masyarakat plural.
Kata-kata kunci : Toleransi, masyarakat plural
Di era reformasi ini, kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban daripada modal
bangsa Indonesia. Hal ini terlihat dari munculnya berbagai masalah yang sumbernya berbau
kemajemukan, khususnya bidang agama. Agama jangan diisolasi dari persoalan public. Sekarang
orang miskin makin banyak, namun yang naik haji juga banyak. Ini karena agama kurang
dikontekstualisasikan dan dijadikan solusi atas berbagai masalah social, jadi kurang adanya
pembahasan tentang tanggung jawab sosial umat beragama. Kini mulai terjadi kemunduran atas
rasa dan semangat kebersamaan yang sudah dibangun selama ini. Intoleransi semakin menebal
ditandai dengan meningkatnya rasa benci dan saling curiga diantara sesame anak bangsa.
Hegemoni mayoritas atas minoritas semakin menebal, mengganti kasih saying, tenggang rasa,
dan semangat berbagi. Intoleransi muncul akibat hilangnya komitmen untuk menjadikan
toleransi sebagai jalan keluar untuk mengatasi berbagai persoalan yang membuat bangsa
terpuruk. Dalam perspektif keagamaan, semua kelompok agama belum yakin bahwa nilai dasar
dari setiap agama adalah toleransi. Akibatnya, yang muncul adalah intoleransi dan konflik.
Padahal agama bisa menjadi energy positif untuk membangun nilai toleransi guna mewujudkan
Negara yang adil dan sejahtera (Wahyudi, 2008). Zuhairi (2008) mengatakan persoalan anti
toleransi dan anti pluralism yang semakin menguat tidak hanya dipengaruhi oleh iman dan kitab
suci, tetapi banyak dipengaruhi oleh faktor riil, seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Pluralisme tidak berarti pernyataan bahwa semua agama sama, juga tidak berkaintan dengan
pertanyaan mana yang benar dan baik. Namun, pluralism adalah kesediaan menerima kenyataan
bahwa dalam masyarakat ada cara hidup, berbudaya, dan berkeyakinan agama yang berbeda.
Dalam penerimaan itu, orang bersedia untuk hidup, bergaul, dan kerjasama membangun negara.
Frans Magnis Suseno (2008) mengatakan pluralisme adalah syarat mutlak agar bangsa Indonesia
yang begitu plural dapat bersatu dan berbangsa yang tidak menghargai pluralisme adalah bangsa
yang membunuh dirinya sendiri. Sujatmiko (2008) mengutip hasil survei yang dilakukan oleh
Roy Morgan tahun 2006 terhadap 25.000 responden yang dimuat pada The Jakarta Post tanggal
14 November 2006 menunjukkan bahwa 89 persen penduduk Indonesia menganggap dirinya
lebih sebagai bangsa Indonesia ketimbang sebagai suku mereka. Dalam menghadapi tantangan
global perlu adanya kecakapan berkompetisi, berjejaring (networking), dan kerja keras
(hardworking) yang dapat didukung oleh nilai-nilai keagamaan. Hal ini diharapkan
menumbuhkan semangat dan optimism yang dapat meningkatkan kualitas hidup bangsa secara
menyeluruh. Beberapa cuplikan yang telah dikemukakan diatas, menunjukkan bahwa rasa
kebangsaan telah berkembang, sebaliknya rasa kebersamaan semakin pudar, menguatnya ikatan
primordial dan anti toleransi. Maka toleransi perlu dibina dan dikembangkan dalam kehidupan
masyarakat plural/majemuk.
KERANGKA KONSEPTUAL
Alangkah indahnya jika keragaman suku, agama, ras, dan antara golongan yang biasa
disingkat dengan “SARA” dapat dijadikan modal bersama untuk membangunIndonesia. Semua
elemen bangsa ditempatkan sebagai kekayaan sosial yang berharga diperlakukan adil, serta
punya kesempatan berkembang dan berperan membangun negeri. Namun pada kenyataan
kerusuhan yang sering terjadi di Indonesia berlatar belakang SARA, sehingga kemajemukan
bukan dijadikan modal dasar pembangunan Indonesia, tetapi seolah-olah menjadi beban. Hal ini
mencerminkan bahwa bahsa kita sedang mengalami disorientasi nilai solidaritas menyangkut
kepedulian sosial dan penghargaan atas potensi individu dan kelompok lain. Tidak ada lagi nilai
kebersamaan yang mengikat kehidupan bersama. Padahal tanpa nilai itu, masyarakat rentan
menjadi kumpulan kami-kami yang miskin semangat kekitaan. Dibyorini (2005:158-162)
mengutip pendapat Nasikun, Nort, Geertz, dan Magnis Nasikun mengatakan masyarakat
Indonesia sebagai sesuatu yang unik. Secara horizontal masyarakat Indonesia ditandai dengan
kenyataan adanya perbedaan antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Kemudia
Magnis Suseno menyatakan jika seseorang atau sekelompok orang dalam suatu masyarakat
menghayati kebudayaan lokalnya secara sempit dan seluruh identitasnya berdasarkan kelompok
kecilnya sendiri, maka hal ini dapat menjadi suatu ancaman bagi integrasi nasional. Demikian
juga bila agama tidak terintegrasi kedalam kebudayaan bangsa seluruhnya, bila agama
mengisolasikan diri dan merasa tidak terlibat secara positif dalam kebudayaannya, maka
masyarakat akan terpecah belah menjadi kelompok-kelompok dengan ikatan-ikatan primordial
yang semakin menguat. Untuk membangun solidaritas sosial antara masyarakat, Nasikun
mengatakan paling tidak ada dua pendekatan atau perspektif yang dapat digunakan, yaitu
perspektif system sosial dan system budaya. Perspektif sistem sosial, yaitu melalui inter-group
relation, yang dimaksud sebagai hubungan anggota-anggota dari berbagai kelompok. Makin
intensif hubungan antar kelompok makin tinggi tingkat integrasi diantara mereka. Dengan
adanya inter-group relation ini dapat pula menetralisir konflik-konflik diantara kelompok,
karena setiap anggota kelompok tidak akan memiliki loyalitas tunggal dalam suatu kelompok
tertentu, namun sebaliknya loyalitas mereka ganda berdasarkan kelompok-kelompok yang
mereka masuki. Dengan demikian kekhawatiran akan terjadi fanatisme sempit, sentimentsentimen primordial juga akan dapat dinetralisir karena kegandaan loyalitas yang dimiliki oleh
masing-masing anggota kelompok. Perspektif sistem budaya dikatakan, bahwa masyarakat
majemuk dapat bersatu melalui penganutan nilai-nilai umum yang berlaku bagi semua anggota
masyarakat, akan semakin kuat pula perekat bagi mereka. Nilai-nilai umum itu bersumber pada
budaya dominan masyarakat multi etnik yang menjadi acuan perilaku yang terpola. Yang penting
dalam kehidupan pada masyarakat majemuk adanya pengakuan dan penerimaan akan perbedaan.
Dengan adanya pengakuan dan penerimaan justru berdampak positif bagi kehidupan keagamaan
kita. Oleh sebab itu, demokrasi dan toleransi harus terkait dalam komunitas masyarakat politik
maupun masyarakat sipil (Misrawi,2008). Sehubungan dengan kedua hal tersebut, dipandang
penting adanya toleransi dalam kehidupan masyarakat plural yang demokratis.
PENGERTIAN TOLERANSI
Toleransi merupakan salah satu bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formil.
Kadang-kadang toleransi timbul secara tidak sadar dan tanpa direncanakan, hal mana disebabkan
karena adanya watak orang perorangan atau kelompok manusia, untuk sedapat mungkin
menghindarkan diri dari suatu perselisihan (Soekanto, 1982:71). Dari sejarah dikenal bangsa
Indonesia adalah bangsa yang toleran yang sedapat mungkin menghindarkan diri dari
perselisihan-perselisihan. Halim (2008) dalam artikel yang berjudul “Menggali Oase Toleransi”,
menyatakan “Toleransi berasal dari bahasa latin, yaitu tolerantia, berarti kelonggaran,
kelembutan hati, keringanan dan kesabaran”. Secara umum istilah ini mengacu pada sikap
terbuka, lapang dada, suka rela, dan kelembutan. United Nations Educational, Scientific and
Cultural Organization (UNESCO) mengartikan toleransi sebagai sikap “saling menghormati,
saling menerima, dan saling menghargai ditengah keragaman budaya, kebebasan berekspresi,
dan karakter manusia”. Untuk itu toleransi harus didukung oleh cakrawala pengetahuan yang
luas, bersikap terbuka, dialog, kebebasan berfikir dan beragama. Singkatnya toleransi setara
dengan sikap positif dan menghargai orang lain dalam rangka menggunakan kebebasan asasi
sebagai manusia. Ada dua model toleransi, yaitu : Pertama, toleransi pasif, yakni sikap
menerima perbedaan sebagai sesuatu yang bersifat faktual. Kedua, toleransi aktif, melibatkan
diri dengan yang lain ditengah perbedaan dan keragaman. Toleransi aktif merupakan ajaran
semua agama. Hakikat toleransi adalah hidup berdampingan secara damai dan saling menghargai
diantara keragaman. Di Indonesia, praktek toleransi mengalami pasang surut. Pasang surut ini
dipicu oleh pemahaman distingtif yang bertumpu pada relasi “mereka” dan “kita”. Tak pelak,
dalam berbagai kontemporer, sering dikemukakan bahwa, radikalisme, ekstremisme, dan
fundamentalisme merupakan baju kekerasan yang ditimbulkan oleh pola pemahaman yang
eksklusif dan antidialog atas teks-teks keagamaan. Seluruh agama harus bertanggung jawab
untuk mewujudkan keadilan dan kedamaian. Hal ini tidak akan tercapai hanya dengan
mengandalkan teologi eksklusif yang hanya berhenti pada klaim kebenaran, tetapi membutuhkan
teologi pluralisme yang berorientasi pada pembebasan. Toleransi yang dimaksudkan dalam
tulisan ini adalah: sikap saling menghormati, saling menghargai, dan saling menerima ditengah
keragaman budaya, suku, agama dan kebebasan berekspresi. Dengan adanya sikap toleransi,
warga suatu komunitas dapat hidup berdampingan secara damai, rukun, dan bekerja sama dalam
mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi dilingkungannya.
PENGERTIAN MASYARAKAT PLURAL
Kita perlu menyelamatkan bangsa dan negara dengan kembali kepada nilai-nilai luhur
yang pasti melekat pada sebagian besar orang, kelompok, dan masyarakat di negeri ini.
Persoalannya tidak setiap orang atau kelompok yang mau mengakui pluralisme dan
multikulturalisme. Padahal dengan saling mengenal, kelompok masyarakat yang plural dapat
mengembangkan apresiasi, penghormatan, bahkan kerjasama antara yang satu dengan yang lain
(A’la, 2008). Subkhan (2007:29) menyatakan pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan
tentang adanya kemajemukan. Namun, yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap
kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat dijumpai dimana-mana.
Didalam masyarakat tertentu, dikantor tempat kita bekerja, di sekolah tempat kita belajar, bahkan
di pasar tempat kita berbelanja. Tapi seseorang baru dapat dikatakan menyandang sifat tersebut
apabila ia dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain
pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan
dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan. Intan (2007) menyatakan
pluralisme agama yang berpondasikan solidaritas individual niscaya membuahkan beberapa
implikasi positif: Pertama, Pemahaman kemajemukan agama bukan lagi sekedar “kenyataan”,
melainkan menjadi “keharusan” yang tidak dapat dihilangkan. Pada realitas ini muncul usaha
saling memperhatikan yang lahir dari kesadaran interpendensi. Pada kondisi ini, agama didorong
memberi kontribusi karena interdependensi agama mensyaratkan ketidakaktifan satu agama akan
berpengaruh kepada hasil-hasil yang akan dicapai. Jika kesadaran interdependensi agama terus
bertumbuh, partisipasi agama-agama dapat dimaksimalkan. Kedua, pluralisme agama berbasis
solidaritas intelektual menjunjung prinsip take and give. Dialog yang baik akan menghasilkan
perubahan kedua belah pihak. Ketiga, berdasarkan solidaritas intelektual, pluralisme agama
mengharuskan kebebasan beragama bukan sebatas negatif immunity, bahwa agama harus bebas
dari cengkraman sosial-politik termasuk negara. Keempat, Pluralisme agama dengan solidaritas
intelektual berpotensi menghasilkan nilai-nilai yang mengandung common good. Yang
dimaksudkan dengan masyarakat plural dalam tulisan ini, adalah masyarakat majemuk yang
ditandai adanya beragam suku bangsa, agama, budaya atau adat istiadat. Kondisi masyarakat
yang demikian diperlukan kerjasama dengan sikap toleransi dalam menghadapi berbagai
tantangan untuk memperkuat ketahanan sosial suatu komunitas. Pada masyarakat majemuk atau
plural, secara horizontal ditandai dengan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan
suku bangsa, perbedaan agama, adat, dan perbedaan kedaerahan, dan sebagainya. Sedangkan
ditinjau secara vertical ternyata adanya perbedaan yang mencolok antara lapisan atas dengan
lapisan bawah. Kondisi masyarakat yang demikian akan mudah munculnya berbagai kerusuhan
berupa konflik antar etnis, konflik atas nama agama, dan adanya kecemburuan sosial yang
disebabkan adanya kesenjangan yang cukup tajam antara golongan kaya dan miskin. Apabila
suatu masyarakat atau komunitas tidak mampu mencegah atau mengelola konflik dan kekerasan
serta tidak mampu melindungi warga masyarakatnya yang rentan, hal ini mencerminkan
lemahnya ketahanan sosial masyarakat tersebut. Solusi yang ditawarkan, yaitu dengan
pendekatan toleransi. Sebagai nilai kebijakan dalam kehidupan bersama. Misrawi (2008)
mengutip pendapat Rainer Forst dalam Tolerantion and Democracys (2007) menyebutkan, ada
dua cara pandang tentang toleransi yaitu konsep yang dilandasi pada otoritas negara (permission
conception) dan konsepsi yang dilandasi pada kultur dan kehendak untuk membangun pengertian
dan penghormatan terhadap yang lain (respect conception). Dalam hal ini, Forst lebih memilih
konsep kedua, yaitu toleransi dalam kontek demokrasi harus mampu membangun saling
pengertian dan saling menghargai ditengah keragaman suku, agama, ras, dan bahasa. Untuk
membangun toleransi sebagai nilai kebijakan setidak ada dua modal yang dibutuhkan yaitu:
Pertama, toleransi membutuhkan interaksi sosial melalui percakapan dan pergaulan yang
intensif. Kedua, membangun kepercayaan diantara berbagai kelompok dan aliran. Prinsip dasar
semua agama adalah toleransi, karena semua agama pada dasarnya mencintai perdamaian dan
anti kekerasan. Christopher (2005).
Pada masyarakat majemuk atau plural, secara horizontal ditandai dengan adanya
kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, perbedaan agama, adat, dan
perbedaan kedaerahan, dan sebagainya. Solusi yang ditawarkan, yaitu dengan pendekatan
toleransi sebagai nilai kebijakan dalam kehidupan bersama
Komentar
Posting Komentar